Saya terinspirasi dari blog sebelah tentang kehamilan pada seorang wanita yang sudah menikah.
Seorang teman saya membagikan sebuah link artikel yang pernah ditulisnya
ketika belum melahirkan. Salah satu kalimat yang saya ingat betul
adalah hamil itu bukan lomba makan kerupuk, siapa yang paling cepat
habis maka dialah pemenangnya. SAYA MENGAMININYA DENGAN SEGALA IMAN
KEBERTUHANAN YANG SAYA PUNYA.
Jadi kalau hamil dan melahirkan hanya menjadi ajang “kompetisi”
betapa rendah nilai kehadiran anak dalam rumah tangga. Kenapa lu mau
punya anak? “Iya soalnya si A yang nikahnya setahun setelah gua udah
punya anak. Masa gua belom.” Atau ini, “Gua mau punya anak biar kalau
arisan keluarga bisa pamer anak gua.”
Punya anak bukan kaya lomba makan kerupuk yang lu kudu abisin tuh
kerupuk cepet-cepet karena kalau ngga sebelah lo yang dapat piala atau
duit beberapa ribu perak. Punya anak juga tidak menjamin para mulut
“social pressure” akan tersumpal secara otomatis. Percayalah mulut-mulut
itu tidak pernah berhenti memamahbiak kata-kata nyinyir. Lalu yang ngga
menang kompetisi beranak, apakah kemudian layak disebut pernikahaannya
tidak bahagia? Atau sebagai perempuan yang kalah berkompetisi?
Sebelum mulai bertanya yang macam-macam, bayangkanlah ini:
- Betapa setiap pasangan punya tantangan masing-masing dalam rumah
tangganya. Mungkin anak belum menjadi prioritas pasangan itu sekarang.
Jadi biarkan mereka merumuskan kebutuhan rumah tangga mereka sendiri.
- Betapa setiap malam pasangan itu berdoa dengan sepenuh jiwa untuk
diberi kesempatan memiliki anak. Jadi janganlah menghakimi dengan seolah
menjadi begitu peduli.
- Betapa setiap pasangan itu sudah keluar-masuk ruangan dokter
kandungan dan menjalani berpuluh-puluh kali pemeriksaan untuk membuat
sesi sperma berhasil membuahi sel telur. Jadi jangan bebani mereka
dengan pertanyaan kapan hamil, karena itu akan mengingatkan proses
panjang yang sudah atau sedang dilalui.
- Bisa jadi pasangan itu punya kondisi yang membuat mereka tidak
semudah pasangan lain yang sekali ngeliatin bini langsung jadi anak.
Jadi janganlah menggurui.
Terkadang bertanya dalam hening adalah bentuk perhatian yang paling
tulus yang diterima setiap pasangan yang tengah bergumul dengan hamil,
melahirkan, dan punya anak. Karena setiap berita kehadiran seorang anak
adalah berita terindah yang selalu menghadirkan senyum pada semua orang.
Tapi bukan berarti ketika berita itu belum dikabarkan atau tidak pernah
dikabarkan maka rumah tangga tersebut tidak pernah diliputi senyuman.
Saya percaya, misi Tuhan memberikan pasangan pada individu yang diberi
karunia menikah bukanlah semata-mata agar beranak saja, tapi juga untuk
saling berbagi hidup dengan penuh cinta. Bukankah itu yang menjadi isi
dalam perjanjian pernikahan, berbagi hidup dengan penuh cinta.
Saya mengamininya juga, bukan karena saat itu saya belum hamil. Tapi karena memang terkadang social pressure itu menyakitkan. Saya merasakan beberapa fase nya.
- - sudah lulus kuliah ,"kapan mulai kerja?"
- - sudah bekerja , "kapan menikah ?"
- - sudah menikah , "kapan punya anak? udah isi belum?"
dan ada beberapa yang saya belum merasakan nya tapi mendengarnya saja sudah dapat membayangkan bagaimana rasanya :
- - sudah punya anak ,"kapan nambah lagi anak nya? atau "tuh anak nya udah minta adek, kapan hamil lagi?"
tapi e tapi,,, belum pernah mendengar yang nanya : " kapan meninggal ?"
Padahal bukan kah
"jodo, rejeki, pati, bagja , cilaka kersaning Alloh" . berarti itu tandanya bahwa urusan jodoh, rizki, mati, hidup, itu hanya Alloh yang menentukan. Bahkan kita sudah bisa memahami bahwa pertanyaan
"kapan meninggal?" itu tidak seharusnya diucapkan karena menghargai orang yang ditanya. Nah seharusnya untuk urusan
jodo, rejeki, pati, bagja, cilaka juga seperti itu.
Namun, saya menyadari bahwa semua pertanyaan-pertanyaan seperti juga jadi tekanan buat kita.
Karena mungkin orang yang bertanya tidak ada maksud apa-apa. Apaagi yang bertanya adalah keluarga sendiri, ibu, bapak, kakek, nenek yang mungkin memang selalu ingin mendengar dan melihat anak-anak, cucu-cucunya bahagia, makanya mereka bertanya seperti itu.
Tetapi untuk kita, terutama saya sendiri yang juga pernah merasakan social pressure. Mungkin banyak hal yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Seperti memilih kata yang pas, atau mungkin membahas hal lain yang lebih universal. Bisa mungkin membicarakan masalah pendidikan di tempat masing-masing, pekerjaan, kegiatan positif, atau mungkin menanyakan masalah cuaca atau yang lain.
Karena ini saya berfikir , saya juga sempet jadi orang yang bertanya seperti itu. Pernah saya ketemu teman yang sudah lama tidak bertemu, dia sudah menikah 3 tahun. Pas ketemu, saya spontan nanya :"Eh, udah isi belum?", teman saya langsung diam dan berubah ekspresi mukanya. Saya jadi serba salah. Makanya setelah itu mulai untuk berhati-hati kalau bertanya masalah yang sebenarnya hanya Alloh yang berhak untuk itu semua.
*bersambung